Hits: 3

Alfi Rahmat Faisal

 

Judul                : Letters to Sam: A grandfather’s Lessons on Love, Loss, and the Gift of Life

Penulis            : Daniel Gottlieb

Penerjemah    : Windy Ariestanty

Editor               : Ninus D. Andarnuswari

Proofereader   : Christian Simamora

Penata Letak   : Nopianto Ricaesar

Desain Sampul: Dwi Anissa Anindhika

Penerbit           : Gagas Media

Tebal                 : 232 Halaman

Dear Sam,                               

Aku tak sanggup memikirkan hal ini, tetapi aku tahu, satu hari nanti, kau akan mendengar seseorang berkata, ‘Dia autis.’ Kalau hal itu terjadi, aku khawatir, kau akan menyadari bahwa ketika orang melihatmu, mereka akan melihat seorang Sam. Mereka melihat sebuah diagnosis. Sebuah masalah. Sebuah pengelompokan. Bukan seorang manusia. {Letters to Sam: A grandfather’s Lessons on Love, Loss, and the Gift of Life Hal. 65}

Ketika pertama kali Sam didiagnosis, dia telah berhenti berceloteh. Satu setengah tahun kemudian, dia menghantamkan kepalanya ke lantai karena frustasi. Dia akan berteriak ketika mendengar suara tertentu. Sam terlahir berbeda.

Di hari kelahiran Sam, ia bertekad akan membagi pengalaman kepada cucu semata wayangnya. Melalui surat dalam setiap jengkal buku ini, Ia ingin memberi tahu Sam tentang hidup, cinta dan apa arti memiliki orangtua dengan sifat kemanusiaannya yang ringkih, dan semua yang perlu ia tahu tentang dunia ini. Meskipun, Sam terlahir dengan kondisi berbeda, namun ia tetap yakin bahwa bagaimana pun Sam akan membacanya suatu hari kelak.

Daniel Gottlieb, seorang Psikolog yang menderita kelumpuhan selama 20 tahun akibat sebuah kecelakaan lalu lintas. Selama bertahun-tahun dari atas kursi rodanya ia terlatih menyaksikan orang menderita, berjuang untuk maju dan tumbuh bersama pengalaman. Sementara sebagian yang lain membiarkan hidup mereka terjebak dalam penderitaan. Ia menjadi berbeda dan tumbuh bersama perbedaan itu. Kelumpuhan mengajarkannya untuk duduk tenang dan membiarkan telinga serta hati terus terbuka.

Sejak mengalami sebuah kecelakaan, hidupnya berubah drastis. Setelah di vonis lumpuh, Setiap hari harus dilewati dengan duduk di kursi roda. Beberapa bagian tubuhnya tidak berfungsi lagi. Tangan yang dulu bisa menulis tiga ratus lima puluh halaman disertasi untuk program doktoral. Kini harus mati-matian hanya untuk membalik satu halaman buku. Tubuh dan jiwanya terluka. Rasa sakit harus ditanggungnya berhari-hari. Hingga pada satu titik ia sadar bagaimana cara menyembuhkan luka itu. Ia percaya luka membutuhkan waktu untuk sembuh dan tubuh kita mempunyai segalanya yang dibutuhkan.

“Luka memang membutuhkan oksigen untuk sembuh. Akan tetapi oksigen itu berada dalam darah, bukan di udara. Segala yang dibutuhkan oleh luka untuk sembuh telah ada di dalam tubuh anda” {Hal 109}

“Bagaimana dengan jiwa manusia? Besar kemungkinan segala yang kita butuhkan untuk menyembuhkan luka hari kita, besar kemungkinan telah ada dalam diri kita,”­ { Hal 110 }

Pada bab lainnya Daniel paham betul suatu saat Sam akan mengetahui perbedaannya dan ia berada di lingkaran sosial. Ia juga merasakan hal yang sama seperti Sam dimana banyak orang mengaguminya namun setelah kecelakaan ia hanya dilihat sebagai ‘si lumpuh’.

“Sam, selama bertahun-tahun aku mendapati bahwa aku bukanlah seorang tunadaksa. Aku memang memiliki kelumpuhan. Kau bukan penderita autis. Kau memiliki autisme. Karena label yang diberikan kepada kita, beberapa orang takut mendekati kita. Beberapa yang lain menjadi berhati-hati ketika berbicara atau memeberikan kepercayaan kepada kita. Dengan cedera tulang belakangku dan autisme yang kau miliki, kita terlihat berbeda dan bertindak berbeda. Tapi, kita juga bisa mengajadi orang lain, sebagaimana Norma telah mengajariku, bahwa apa pun yang terjadi dengan tubuh atau pikiran kita, jiwa kita akan tetap utuh,”{Hal. 71}

Buku ini berisi pengalaman hidup Daniel yang ia tulis dalam setiap lembaran surat untuk Sam. Sang kakek ingin membagi pandangan tentang menjadi berbeda, bagaimana menghadapi ketakutan, merajut harapan, dan mengambil hikmah dalam setiap rencana Tuhan. Inilah kisah yang dibagi Daniel Gottlieb untuk Sam dan untuk kita semua.

Buku setebal 232 halaman ini memiliki bahasa kehidupan yang tak mampu di eja oleh ribuan mata. Surat-surat dalam buku ini adalah pelajaran dari seorang kakek tentang cinta, kehilangan, dan anugerah hidup yang disajikan dengan pemilihan diksi yang filosofis namun mudah dipahami.

Membaca setiap bab di buku ini kita seolah diajak menyelami pikiran seorang yang menjadi ‘berbeda’ tentang apa artinya menjadi manusia. Pada satu titik, saya lupa sedang membaca, rasanya seperti berada di dalam ruang kelas kehidupan. Mendengarkan pelajaran tentang hidup yang akan saya ingat selamanya.

Jika anda hanya membaca satu buku tahun ini, maka buku ini adalah pilihan terbaik.

Leave a comment