Hits: 15

Hidayat Sikumbang

Pijar, Medan. Haruskah kita mengatakan kalau musik adalah media yang paling layak untuk menangkan hati, pikiran, dan emosi? Musik, baik itu lagu sedih ataupun senang kadangkala bisa memainkan emosi para pendengarnya. Filsuf sekelas Aristoteles pernah menyebut bahwa musik adalah sesuatu yang dapat dipakai untuk memulihkan keseimbangan jiwa yang sedang goyah, menghibur hati yang sedang goyah, dan merangsang rasa patriotisme dan kepahlawanan.

Musik selain media komunikasi, juga sebagai media hiburan. Pernahkah kamu mendengarkan lagu dengan lirik bahasa asing yang bahkan tak dipahami sedikit pun, namun mampu memberikan rasa nyaman di telingamu?

“Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?” Secukupnya (Hindia).

Hari Musik Nasional adalah salah satu perayaan yang harusnya dirayakan dengan bahagia. Musik adalah salah satu cara untuk menikmati karya cipta individu masing-masing. Tapi yang patut ditanyakan terlebih dahulu, apakah musisi Indonesia benar-benar bahagia dengan karya ciptanya?

Kita ulas ke peristiwa beberapa tahun lalu. Saat Indonesia dihebohkan dengan Rancangan Undang Undang (RUU) Permusikan. RUU Musik dianggap mengekang musisi. Tidak satu atau dua pemusik yang mengkritik keras tentang ini. Marcell Siahaan, salah satu musisi kawakan Indonesia menyebut bahwa RUU ini adalah salah satu blunder. “Industri musik ini bukan berlangsung untuk hari ini saja, tapi untuk anak cucu kita nanti,” ujarnya seperti yang dikutip dalam laman katadata.co.id.

Bukan sedikit acara-acara musik di televisi dari yang kita lihat saat ini. Sejak dulunya, Indonesia ‘terkesan’ jago dalam mencari orang-orang yang berbakat. Tapi tidak dengan mengembangkannya. Sebut saja acara yang bertajuk Akademi Fantasi Indonesia, atau biasa kita kenal dengan nama AFI. Selayaknya kembang api, acara ini menjadi tersohor. Para pemenang selayaknya sedang berada kembang api yang berada di ketinggian. Indah, merekah, lalu kemudian meredup tanpa tahu kelanjutannya. Begitu juga dengan acara AFI itu sendiri.

Seperti penulis, musisi selayaknya hanya punya satu kewajiban, yaitu berkarya. Seorang pekerja seni, harusnya memang begitu. Begitulah yang dilakukan oleh seorang maestro, Wage Rudolf Supratman atau biasa dikenal dengan nama WR. Supratman. Kisahnya sempat ditayangkan di layar lebar dengan judul serupa yakni namanya, Wage.

Beliau lahir pada 9 Maret tahun 1903. Tanggal kelahiran beliau adalah tanggal peringatan Hari Musik Nasional. Beliau menjadikan musik sebagai sarana komunikasi. Beliau bukanlah seperti Bung Karno atau Bung Tomo yang mampu meledak-ledak untuk memainkan emosi rakyat dalam menghadapi para penjajah. WR. Supratman memilih jalannya sendiri. Jalan yang anggun. Tapi mampu mencabik-cabik emosi siapa pun yang mendengarnya. Dialah sang pencipta lagu Indonesia Raya.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya.” – Indonesia Raya (Wage Rudolf Supratman.)

Sayang, WR. Supratman tak sempat mendengarkan lagunya dinyanyikan tepat di hari kemerdekaan. Ia meninggal dunia tepat tujuh tahun sebelum Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1938. Namun, semangatnya dalam menciptakan lagu seperti yang dikisahkan dalam film Wage menjelaskan, bahwa musik selain untuk sarana hiburan, juga bisa menjadi sarana komunikasi.

Indonesia Raya sempat ditertawakan penjajah, namun hingga detik ini, lagu yang ia ciptakan justru berbalik. Indonesia Raya ketika digaungkan, sebagai kebanggan tersendiri yang tertanam dalam nurani putra-putri Indonesia. Selamat Hari Musik Nasional.

(Redaktur Tulisan: Widya Tri Utami)

Leave a comment