Hits: 116

“Daripada terburu-buru untuk menyelesaikan tahun ini dengan baik, luangkan waktu sejenak untuk melihat semua prestasi yang telah Anda capai. Berterimakasihlah kepada diri Anda sendiri atas semua kemenangan, kekalahan dan proses tumbuh yang telah dijalani.” – Planoly.

 Hannysa / Miftahul Jannah Sima

 Pijar, Medan. Pernahkah kamu melihat orang yang bekerja terus-menerus, kapanpun dan di manapun? Mereka seringkali beranggapan bahwa semakin lama bekerja akan semakin sukses. Bahkan, seringkali orang itu tidak punya waktu lagi buat diri sendiri dan beristirahat, seperti liburan, tidur, dan tidak ada me time. Atau kamu sendiri sedang mengalami itu?

Jika kamu pernah membaca kutipan seperti “good things happens for those who hustle” yang berarti “hal baik hanya akan datang pada orang yang bekerja keras.”Apakah menurutmu kutipan tersebut benar?  Apakah bekerja keras merupakan sebuah satu-satunya jalan untuk memiliki hidup yang bermakna?

Sebenarnya, tidak banyak yang menyadari bahwa gaya hidup budaya ini sering dialami akhir-akhir ini oleh kawula muda, terutama mereka yang bekerja dengan waktu yang berlebihan. Budaya  ini disebut hustle culture atau generasi 90-an sering menyebutnya dengan istilah “Budak Korporat”.

Hustle Culture adalah suatu gaya hidup di mana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras kapanpun dan di manapun dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk  beristirahat, dengan begitu ia dapat merasa bahwa dirinya sukses. Budaya hustle  culture pertama kali ditemukan pada tahun 1971, budaya ini muncul sejak ramainya dunia industri. Orang-orang termotivasi menjadi pengusaha terkenal seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Thai Lopez dan masih banyak lagi yang berpikir bahwa meraih kesuksesan harus menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja. Sekarang, gaya hidup ini semakin menyebar dengan cepat terutama di kalangan milenial.

Banyak orang yang mengansumsikan kalau hustle culture itu bagus, mengapresiasi orang yang sibuk kerja, sehingga memunculkan kebanggaan dengan kesibukan yang dilakukannya, Kenyataannya tidak seperti itu. Kerja keras itu bagus, namun jika sudah berlebihan maka dapat memberikan dampak negatif.

Dikutip dari channel Youtube Gita Savitri, ia mengatakan bahwa orang yang menerapkan gaya hidup hustle culture ini sampai tidak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal lain diluar pekerjaannya. Contohnya, makan sambil bemain laptop atau membalas email, tidak fokus dalam beribadah, liburan terasa tidak benar-benar libur karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, bahkan tidur pun sampai terganggu.

Hustle Culture menuntut seseorang untuk bisa multitasking. Kegiatan ini membuat otak tidak fokus sehingga dalam mengerjakan sesuatu bisa tidak maksimal. Akibatnya, otak bisa lelah dan kinerjanya berkurang. Budaya hustle ini secara tanpa disadari juga sudah menjamur dan terjadi di sekitar kita. Dan tidak hanya dialami oleh para pekerja, para pelajar juga dapat mengalami hustle culture secara tidak sadar. Contohnya, seorang anak yang belajar seharian demi dapat masuk universitas impian orang tuanya, sampai tidak memiliki waktu untuk beristirahat, tidur, dan liburan. Hal ini jelas tidak baik untuk kesehatan fisik maupun mental.

Sebaiknya Sobat Pijar menjauhi kebiasaan ini ya! Karena hal ini bisa membuat diri kita merasa  depresi akibat kelelahan bekerja, abai dengan lingkungan sekitar, dan masalah yang terburuk ialah tekanan bunuh diri. Sudah saatnya meluangkan waktu untuk diri sendiri agar tidak merasa tertekan karena pekerjaan yang begitu banyak.

Ingat, lakukanlah sesuatu dengan seimbang, karena sesuatu yang dilakukan secara berlebihan tidak baik. Jangan memaksakan dirimu untuk bekerja lebih, karena dirimu lebih berharga dari segalanya.

(Editor: Diva Vania)

 

Leave a comment